Tob Tobi Tob, Syair Klasik Arab yang Viral di Ramadan 2025 dan Kisah Menakjubkan di Baliknya

Lagu Arab Viral 'Tob Tobi Tob', dari Puisi Klasik hingga Tren TikTok (©Ilustrasi dibuat AI)
ViralBlasts.com – Di tengah gegap gempita Ramadan 2025, sebuah lagu berbahasa Arab dengan ritme cepat dan unik tiba-tiba menyita perhatian warganet Indonesia. Lagu tersebut dikenal dengan sebutan “Tob Tobi Tob”. Menggema di TikTok, Instagram, dan YouTube, lagu ini menghiasi berbagai konten bertema Ramadan, dari video motivasi hingga sketsa komedi. Banyak yang terpesona dengan lirik dan ritmenya, meski belum tentu memahami makna atau sejarah di balik lagu tersebut.
Fenomena viral “Tob Tobi Tob” menunjukkan betapa kekuatan media sosial mampu menghidupkan kembali karya sastra klasik yang sebelumnya hanya dikenal kalangan terbatas. Padahal, syair ini sudah ada sejak lebih dari seribu tahun yang lalu dan merupakan bagian dari warisan sastra Arab yang kaya. Ketika musik modern bertemu dengan syair klasik, lahirlah perpaduan yang menggugah rasa sekaligus rasa ingin tahu.
Banyak pengguna internet akhirnya mencari tahu tentang asal-usul lagu ini. Siapa penyairnya? Apa makna liriknya? Mengapa ia ditulis? kami akan mengulas tuntas semua itu berdasarkan sumber sejarah, kitab, dan literatur yang otoritatif.
Apa Itu Tob Tobi Tob dan Syair Aslinya
“Tob Tobi Tob” merupakan bagian dari syair Arab klasik berjudul asli Sawt Safiri Al-Bulbuli yang berarti “Suara Siulan Burung Bulbul”. Lagu ini dipopulerkan kembali oleh penyanyi Timur Tengah, Ahmed El Qatane, pada tahun 2012. Namun, asal mula syair ini jauh lebih tua, yaitu berasal dari era Kekhalifahan Abbasiyah pada abad ke-8 hingga ke-9 Masehi.
Berikut adalah syair lengkap Sawt Safiri Al-Bulbuli beserta terjemahannya:
Sawtu shofiiril bulbuliy, hayyaj qalbits tsamili
صَوْتُ صَفِيْرِ الْبُلْبُلِ، هَيَّجَ قَلْبِي الثَّمِلِ
Suara kicauan burung bulbul menggetarkan hatiku yang mabuk cinta
Al ma-u wazzahru ma’a, ma’zahri nakhthim muqali
الْمَاءُ وَالزَّهْرُ مَعًا، مَعْ زَهْرِ نَخْثِ الْمُقَلِ
Air dan bunga bersama dengan keindahan yang tak tertandingi
Wa anta yaa sayyidal liy, wasayyidiy wa maw laliy
وَأَنْتَ يَا سَيِّدَ لِي، وَسَيِّدِي وَمَوْلَلِي
Dan engkau, wahai tuanku, junjunganku, dan penguasa hatiku
Fakam fakam tayammuniy, ‘uzayyilul ‘aqiqali
فَكَمْ فَكَمْ تَيَّمَنِّي، عُزَيِّلُ الْعَقِيقَلِ
Begitu besar pesona cintamu yang menawan hatiku
Fathoftahu miw wajnatin, mil latsmi wardil khajali
فَتَخَطْتُهُ مِنْ وَجْنَةٍ، مِلْ لَثْمِ وَرْدِ الْخَجَلِ
Aku memetik dari pipinya mawar yang tersipu malu
Fa qala laa laa laa laa, wa qad ghadaa mu harwili
فَقَالَ لَا لَا لَا لَا، وَقَدْ غَدَا مُهَرْوِلِي
Dia berkata, “Tidak, tidak, tidak, karena esok aku akan bergegas pergi”
Walkhudu maa lat thoraban, min fa’li haa dzar rajuli
وَالْخَدُّ مَالَ الطَّرَبًا، مِنْ فِعْلِ هَذَا الرَّجُلِ
Pipi itu berseri bahagia, siapa yang membuatnya demikian?
Fa wal walat wa wal walat, waliy waliyya way laliy
فَوَلْوَلَتْ وَوَلْوَلَتْ، وَيْلِي وَيْلِي وَوَيْ لَلِي
Aku berkata, “Oh, celaka! Oh, nasib malangku!”
Faqultu laa tu walwily, Wa bayyinil lu’lu aliy
فَقُلْتُ لَا تُوَلْوِلِي، وَبَيِّنِي اللُّؤْلُؤَ الْعَلِي
Aku berkata, “Jangan menyiksaku, berikanlah mutiara hatimu kepadaku”
Qaa lat lahu hiyna kadza, innah dhawijd bil muqali
قَالَتْ لَهُ حِينَ كَذَا، إِنَّهُ ذَوَاجِدْ بِالْمُقَلِ
Dia berkata, “Jika begitu, angkatlah dan bawalah dengan kelembutan”
Wa fityatin saqaw lani, qahwat kal’usasiliy
وَفِتْيَةٍ سَقَوْا لَنِي، قَهْوَةً كَالْعُسَاسِلِ
Aku mencicipi kopi di pasar seperti madu yang manis
Syamamtuhaa bi-anafi azka minal quruquni
شَمَمْتُهَا بِأَنْفِي، أَزْكَى مِنَ الْقُرُنْفُلِ
Aku menghirup aromanya, lebih harum dari cengkeh
Fi wasthi bustanil huliy bilzahri wasururuliy
فِي وَسْطِ بُسْتَانِ الْحُلِي، بِالزَّهْرِ وَالسُّرُورُلِي
Di tengah taman yang indah, penuh bunga dan kebahagiaan
Wa’ludu dandan dana li, watoblu tob tob tobali
وَالْعُودُ دَنْدَنْ دَنَا لِي، وَالطُّبْلُ طُبْ طُبْ طُبَلِي
Kecapi berbunyi ‘dandan din’, dan genderang berdetak ‘tabtab tab’
Tob tobi tob tob tobi tob tob tobi tob tob tobaliy
طُبْ طُبِي طُبْ، طُبْ طُبِي طُبْ، طُبْ طُبِي طُبْ، طُبْ طُبَلِي
Tak, tak, tak, dentuman musik menyenangkanku
Wasaqfu saq saq saqliy wa raqsu qad tho ba iliy
وَالسَّقْفُ سَقْ سَقْ سَقْلِي، وَالرَّقْصُ قَدْ طَابَ إِلِيَّ
Atap bergema, dan tarian membuatku bahagia
Syawaa syawaa wa syaa hisyu, ‘ala waraq sifarjali
شَوَى شَوَى وَشَا هِشُ، عَلَى وَرَقِ السِّفَرْجَلِ
Suara merdu terdengar di antara dedaunan pohon pir
Wagarradil qimriya yishiyhu malalil fii malaliy
وَغَرَّدَ الْقِمْرِيُّ يَشْيُهُ مَلَلِي فِي مَلَلِي
Bulan bersinar terang, tak menghapus impian-impian indahku
Wa law taraaniy raakiban, ‘ala himarin azzali
وَلَوْ تَرَانِي رَاكِبًا، عَلَى حِمَارٍ أَزْزَلِي
Dan andai kau melihatku menunggang keledai kurus
Yimsyii ‘ala tsalatsatin kamsyyatil ‘aranjiniy
يَمْشِي عَلَى ثَلَاثَةٍ، كَمِشْيَةِ الْعَرَنْجَنِي
Berjalan dengan tiga kaki seperti pincangnya seseorang
Wannasu tarjim jamaliy, fissuwqi bil qulqulaliy
وَالنَّاسُ تَرْجِمُ جَمَالِي، فِي السُّوقِ بِالْقُلْقُلَالِي
Orang-orang mengomentari keindahanku di pasar dengan kehebohan
Walkullu kalka’ka’ika’ khalfi waminhu waylaliy
وَالْكُلُّ كَالْكَعْكَعْكَعْ، خَلْفِي وَمِنْهُ وَيْ لَلِي
Semuanya berceloteh, “keak keak,” di belakangku dan di sekelilingku
Lakim nasyaytu haa riban, min khasyyatil ‘aqaqali
لَكِنِّي نَشَيْتُهَا رِبًا، مِنْ خَشْيَةِ الْعَقَاقَلِ
Tapi aku berjalan pergi, melarikan diri dari rasa malu
Ila liqaa-i malikin, mu’adzhdzhamim mubajjali
إِلَى لِقَاءِ مَلِكٍ، مُعَظَّمٍ مُبَجَّلِ
Untuk menemui seorang raja agung yang terhormat
Ya’muruliy bikhil’atin, khamra-a kaddam damaliy
يَأْمُرُ لِي بِخِلْعَةٍ، خَمْرَاءَ كَالدَّمِ دَمَلِي
Yang memberiku jubah merah seperti warna darah
Ajurru fiiha maa syiyan, mubghadidal lidzdziyali
أَجُرُّ فِيهَا مَا شِيًا، مُبْغَضِدًا لِلذِّيَّالِ
Aku berjalan dengan penuh keanggunan, membiarkan ujungnya berkibar
Anal-adiibul alma’iy, min hayyi’ ardhil mushili
أَنَا الْأَدِيبُ الْمَعِيُّ، مِنْ حَيِّ أَرْضِ الْمُوصِلِ
Aku adalah penyair cerdas dari tanah Arab
Nadzhimtu qith’an zikhrifat, ya’ajuzu ‘anhal-adbuli
نَظَمْتُ قِطْعًا زُخْرُفَتْ، يَعْجِزُ عَنْهَا الْأَدْبُلِي
Aku merangkai syair indah yang membuat para pujangga terkesima
Aquulu fi mathla-‘ihaa shawtu shafiiri bulbuliy
أَقُولُ فِي مَطْلَعِهَا، صَوْتُ صَفِيرِ الْبُلْبُل
Aku berkata dalam pembukaannya, “Suara kicauan burung bulbul…”
Siapa Pencipta Tob Tobi Tob?
Tob Tobi Tob diyakini diciptakan oleh penyair legendaris Abd al-Malik ibn Quraib Al-Asma’i, atau lebih dikenal sebagai Al-Asma’i. Ia adalah seorang ahli bahasa, penyair, filolog, dan ilmuwan zoologi yang hidup di Basra pada tahun 739 Masehi. Al-Asma’i merupakan salah satu cendekiawan besar yang menjadi bagian dari lingkungan istana pada masa pemerintahan Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur.
Menurut George A. Makdisi dalam Cita Humanisme Islam, Al-Asma’i belajar dari para ulama besar seperti Sufyan al-Tsauri dan Abu ‘Amr ibn al-‘Ala. Kontribusinya dalam bidang sastra dan ilmu pengetahuan sangat besar, menjadikannya tokoh penting dalam sejarah Islam.
Kisah di Balik Syair Tob Tobi Tob
Kisah yang melatarbelakangi penciptaan syair ini sangat menarik. Dikisahkan bahwa Khalifah Abu Ja’far Al-Mansur memiliki kebiasaan menantang para penyair untuk membuat syair yang belum pernah ia dengar. Ia dikenal memiliki daya ingat luar biasa dan dibantu oleh dua budak yang juga ahli menghafal.
Ketika para penyair membacakan syairnya, sang Khalifah akan mengulanginya dengan cepat dan mengklaim bahwa ia pernah mendengarnya. Ini dilakukan untuk menghindari memberi hadiah kepada para penyair.
Al-Asma’i pun menyusun syair Sawt Safiri Al-Bulbuli dengan penuh permainan kata, pengulangan, dan irama cepat yang membuat sulit untuk dihafal. Ia bahkan menyamar sebagai orang Badui dan membacakan syair itu di depan sang Khalifah.
Khalifah dan para pembantunya pun gagal menghafalnya. Ketika diminta menimbang hadiah emas berdasarkan media tempat syair ditulis, Al-Asma’i menunjukkan bahwa ia menuliskannya di tiang marmer yang sangat berat. Khalifah pun menyerah dan memberikan hadiah.
Menurut Encyclopedia of Islam oleh C. Pellat, kisah ini menunjukkan bagaimana Al-Asma’i tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga memiliki keberanian moral untuk melawan ketidakadilan dengan cara yang kreatif.