Pernikahan Dini Viral di NTB, Anak 15 dan 17 Tahun Nekat Gelar Nyongkolan Diam-Diam

ViralBlast – Lombok Tengah kembali menuai perhatian publik setelah beredar video prosesi nyongkolan di media sosial yang menampilkan pasangan remaja diduga melakukan pernikahan dini.
Kasus ini saat ini sedang dalam penanganan pihak kepolisian setelah Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram mengajukan laporan resmi ke Polres Lombok Tengah. Ketua LPA, Joko Jumadi, mengungkapkan bahwa kedua remaja tersebut masing-masing berusia 15 dan 17 tahun.
Menurut Joko, pengantin perempuan berinisial SY berasal dari Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, sedangkan pengantin laki-laki berinisial SR berasal dari Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.
“Kami telah mengadukan kasus ini karena termasuk dalam kategori pernikahan anak,” jelas Joko saat diwawancara oleh Antara pada Senin, 26 Mei 2025.
Laporan yang diajukan mencakup tidak hanya orang tua kedua mempelai, tetapi juga pihak-pihak lain yang terlibat dalam memfasilitasi pernikahan tersebut, termasuk jika ada pejabat agama yang menikahkan pasangan itu.
Sudah Dilarang Tapi Tetap Dilangsungkan
LPA mengungkapkan bahwa aparat desa dari kedua belah pihak sebenarnya telah berupaya mencegah pernikahan ini. Sayangnya, niat baik tersebut tidak diindahkan. Orang tua serta pasangan tetap melangsungkan pernikahan secara diam-diam.
“Pihak desa sudah berusaha mencegah berulang kali, tetapi orang tua dan pasangan bersikeras,” jelas Joko.
Meski pernikahan dilakukan diam-diam, prosesi nyongkolan tetap digelar hingga akhirnya tersebar luas di media sosial. Pernikahan ini diduga sudah direncanakan sejak April 2025 namun sempat tertunda, hingga akhirnya dilangsungkan secara sembunyi-sembunyi pada awal Mei.
Pernikahan Anak = Kekerasan Seksual
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) juga turut menyoroti kasus ini. Menteri Arifah Fauzi menyatakan keprihatinannya dan menegaskan bahwa memaksa anak menikah adalah bentuk pelanggaran hukum.
Ia menekankan bahwa berdasarkan Undang-Undang Perkawinan, usia minimal untuk menikah adalah 19 tahun. Selain itu, pemaksaan perkawinan anak dikategorikan sebagai kekerasan seksual berdasarkan UU TPKS.
“Kami sangat menyayangkan tindakan orang tua yang masih mempertahankan tradisi, meski bertentangan dengan hukum negara,” tegas Arifah.
Hukum Perlu Tegas, Tapi Kesadaran Sosial Juga Penting
Walaupun data menunjukkan penurunan angka pernikahan anak menjadi sekitar 5 persen pada tahun 2024, jumlah absolutnya masih tinggi dan berdampak serius—termasuk pada pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan anak.
“Penegakan hukum memang penting untuk efek jera, tapi perubahan pola pikir masyarakat tidak kalah penting,” kata Arifah.
Ia menambahkan bahwa isu ini bahkan menjadi salah satu perhatian internasional ketika Indonesia menjalani dialog dengan Komite Hak Anak PBB di Jenewa, awal Mei lalu.
Aspirasi Anak Harus Diberi Ruang
KemenPPPA mendorong agar anak-anak, terutama di NTB, berani menyuarakan pendapat mereka. Arifah mengajak Forum Anak dan komunitas sebaya untuk membangun ruang aman bagi diskusi seputar kesehatan reproduksi, kekerasan, serta pengembangan diri.
“Dukung teman sebaya, jadilah bagian dari perubahan positif,” tutupnya.
Sementara itu, Kasat Reskrim Polres Lombok Tengah, Iptu Luk Luk Il Maqnun, mengonfirmasi bahwa laporan dari LPA telah diterima dan penyelidikan tengah berlangsung.
“Laporan sudah kami terima, saat ini kami sedang memanggil saksi-saksi untuk dimintai keterangan,” ujarnya.
Kasus ini menambah daftar tantangan dalam upaya menghapus praktik pernikahan anak di Indonesia. Dukungan aktif dari masyarakat diharapkan dapat membantu melindungi masa depan generasi muda demi mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.